Rabu, 03 Juni 2009

Kasus Prita dan UU ITE

Saya tertarik untuk membahas kasus Prita karena kelihatannya masih banyak kalangan bloger yang menentang penahanan atas Prita tanpa terlebih dahulu membaca bagaimana bunyi email yang dikirimkan Prita ke milis termaksud.

Ada beberapa poin terkait kasus ini yang perlu kita cermati bersama.

1. Pasal mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik (defamation, tort) bukan hanya ada di UU ITE, melainkan ada dalam hampir semua undang-undang hukum positif di banyak negara, meski kebanyakan masuk ranah hukum perdata.

2. Dalam Islam ada anjuran “tinggalkanlah hal yang meragukan”, mungkin dalam hukum positif ada juga terminologi ini, saya belum memeriksa. Dalam hal ini kita selalu bersengketa soal kriteria mengenai pencemaran nama baik, penghinaan, dan lain-lain. Percayalah, kita tidak akan pernah menemukan kriterianya sampai kapanpun! Karena meragukan itulah justru dibuat perangkat hukum/larangan yang bersifat mengikat sebagai rambu-rambu agar kita berhati-hati.

Contohnya begini:
Frasa “Dasar hitam!” yang ditujukan buat kita-kita, ras Asia, memiliki nilai rasa yang berbeda apabila ditujukan buat kaum kulit hitam Afrika-Amerika. Itulah kenapa frasa seperti itu sebaiknya dihindari, bukan justru dipakai dengan alasan “kriteria penghinaan tidak jelas”.

3. Tidak ada seorang wargapun yang memiliki hak untuk menghakimi pihak lain tanpa melalui keputusan pengadilan.

4. Kritik sebaiknya ditujukan kepada praktik/tindakan, bukan individu-individu. Dan kritik sebaiknya bertujuan agar kejadian serupa tidak terjadi pada orang lain, bukan menebarkan kebencian atau aroma “balas dendam”.

5. Apakah betul Prita tidak melanggar UU ITE? Saya sendiri tidak berani mengatakan Prita bersalah atau tidak. Jika saya baca emailnya, ada beberapa poin yang sepertinya memang berpotensi terjerat delik dalam UU ITE. Berikut ini di antaranya:

Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan.

Kata-kata “uji-coba pasien”, “penjualan obat dan suntikan” adalah tuduhan yang belum teruji di pengadilan. Buat sebuah rumah sakit, tuduhan seperti ini tentu amat berat konsekuensinya. Kita mesti berhati-hati menggunakan kata-kata ini.

…makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Frasa “pembohong besar” dengan penggunaan huruf kapital menurut hemat saya bersifat menyerang dan menghakimi. Apalagi di situ disebut “semua”. Apakah betul semua staf manajemen rumah sakit termaksud pembohong besar? Tidak ada satu pun orang (bahkan bila benar dia seorang pembohong) yang suka disebut pembohong :) Kecuali memang sudah diputuskan pengadilan.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF

Kata “ditipu” atau “fiktif” tentu butuh pengujian di pengadilan. Jika kita mengatakan hal tersebut, kita sebarluaskan, maka kita berpotensi melakukan tuduhan tanpa proses peradilan. Dan ini jelas melanggar hukum.

…mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Riskan, riskan untuk diucapkan.

…namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka…

Sekali lagi, menyerang dan menuduh.

…tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dpercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Menuduh juga. Betulkah RS tersebut mempermainkan nyawa manusia? Butuh pengujian yang teliti di pengadilan.

Lalu, yang bagaimanakah yang dimaksud dengan kritik yang santun? Jika tujuannya adalah agar kejadian serupa tidak terulang lagi, maka penyebutan RS, atau nama-nama sebaiknya disamarkan. Apalagi bila kasusnya berat. Namun, kita bisa memberikan informasinya secara pribadi (japri) bila ada yang menginginkan informasi lebih lanjut. Jika saja email Prita cukup menjelaskan fakta-fakta yang dialami, tanpa perlu memberikan penilaian (judgement) saya rasa emailnya itu akan menjadi “aman”.

Saya tidak mengatakan bahwa posting saya berikut ini adalah jenis kritik yang “sempurna” tapi mungkin bisa menjadi contoh. Setelah saya tulis itu, banyak bloger/pembaca yang mengirimkan email menanyakan rumah sakitnya atau dokternya.

Semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi kita agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan aktivitas ngeblog, bermilis, atau media-media publik lainnya.

Yuk ngeblog lagi!

Menulis di Internet Dipenjara Prita Minta RS Omni Hentikan Zalimi Dirinya

Rabu, 03/06/2009 14:08 WIB

Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Jakarta - Ditahan akibat tuduhan mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni International membuat Prita Mulyasari (32) merasakan penderitaan hebat. Prita meminta RS Omni untuk menghentikan penzaliman terhadap dirinya.

"Dari pihak pelapor tolong hentikan penzaliman kepada kami, terutama saya," kata Prita sambil terisak-isak sebelum bertemu dengan Dewan Pers di LP Wanita, Tangerang, Banten, Rabu (3/6/2009).

"Ya Allah saya minta hati nurani dibukakan kembali. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kalian (Omni)," doa ibu dua orang balita yang mengenakan jilbab hitam itu.

Namun, dikatakan Prita, dirinya siap menghadapi cobaan yang tengah menimpanya.

"Hukum manusia tidak ada artinya jika dibandingkan dengan hukum Allah. Allah akan menjawab," pungkasnya.

Prita ditahan di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei yang lalu. Dia dituduh mencemarkan nama baik RS Omni karena mengirimkan email kepada teman-temannya yang berisi keluhan seputar pelayanan medis RS tersebut.

Oleh polisi, Prita hanya dijerat pasal pencemaran nama baik KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara dan tidak ditahan. Namun ketika berkas masuk kejaksaan, jaksa menambahi dengan pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Berkat pasal inilah jaksa menahan Prita di LP Wanita sembari menunggu sidang di PN Tangerang pada Kamis besok.
(irw/nrl)

Kasus Prita

Jakarta - Selain pasal KUHP, Prita Mulyasari juga dikenai pasal 27 (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bahkan karena pasal terakhir yang tiba-tiba dipakai jaksa inilah Prita mendekam di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei lalu.

Pasal 27 (3) UU ITE punya cerita sendiri. Beberapa bulan lalu, sejumlah warga negara mengajukan judicial review terhadap pasal yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" itu.

Pada 5 Mei lalu, MK menolak permohonan uji materi itu karena menganggap pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Ketua MK Mahfud MD menyatakan, pihaknya menolak permohonan uji materi itu untuk mencegah adanya pencemaran nama baik melalui dunia maya. Keberadaan UU ITE dinilai sudah benar dan tidak menciptakan dua undang-undang.

"UU ITE itu benar adanya, karena memang cara-cara mencemarkan nama baik atau memfitnah bisa dilakukan lewat alat-alat elektronik," ujarnya di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (3/6/2009).

Menurut Mahfud, fitnah yang dilakukan melalu dunia maya memiliki efek yang lebih luas dibandingkan dengan pencemaran lewat pidato. "Sifatnya massif dan jauh lebih meluas dan sulit juga untuk dihapus dan terlanjur beredar," katanya.

Keberadaan UU ITE lanjut, Mahfud, bukanlah duplikasi dari KUHP dan tidak menciptakan dua UU, hanya saja UU ITE syarat-syaratnya harus mengikuti UU KUHP. "Harus ada pengaduan, unsur-unsurnya sama," imbuhnya.

Ditanya mengenai kasus Prita Mulyasari (32) yang dikenai Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena dianggap melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional, menurut Mahfud, tinggal dibuktikan di pengadilan.

"Mungkin dia tidak mencemarkan nama baik, tapi emailnya mengandung pencemaran nama baik, lalu dikirim-kirim dan sifatnya menjadi umum. Tinggal pembuktian di pengadilan," jelasnya.

Untuk penerapan kasus Prita, Mahfud enggan berkomentar. Dia hanya menegaskan bahwa UU ITE sudah dibuktikan konstitusional. "Sudah di uji di MK, UU ITE konstitusional," tandasnya.

Kasus Prita menarik simpati karena pemenjaraan yang terjadi padanya. Uniknya, saat di polisi, Prita hanya dikenai pasal KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun. Ketika berkas sampai di jaksa, pasal 27 (3) UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara ditambahkan sehingga Prita ditahan.